Aku terlahir ketika aku masih ingin bergelung di dalam rahim ibuku. Seakan enggan bersua dengan dunia. Seperti dia, Ibuku, yang sekian lama terbelenggu oleh rasa takut. Takut karena lebarnya bentangan imajinasi. Imajinasi yang meliar karena tipisnya dinding hati, hati yang begitu mudah terluka. Sama seperti aku. Ibuku sangat perasa. Sehingga ia tahu, apa yang aku rasakan ketika aku tercekat hanya karena sebuah ketidakadilan menusuk mata dan batinku.
Ibuku tidak suka aku menonton televisi. Katanya, benda itu dapat membuatmu menjadi bodoh. Mungkin dia tidak ingin menjadi bodoh, sehingga dia tidak pernah mau menatap benda kotak itu lebih lama dari waktu yang dibutuhkan segelas kopi untuk meng hangat. Dia hanya akan berlama-lama ketika sebuah film diputarkan untuk mengisi pikirannya yang kosong.
Ketika aku menangis, ibuku selalu memelukku begitu erat, merapat dengan hatinya yang ikut terluka. Mungkin, itulah yang diinginkannya dahulu ketika ia menangis, dekapan pengertian. Ia hanya tidak ingin aku merasa sendiri, seperti apa yang ia rasakan pada masa yang telah berlalu. Ketika ia melihat dunia seperti aku melihat dunia pada saat ini.
(berlanjut .... )
No comments:
Post a Comment